Friday, May 11, 2012

MULAI BERJUALAN (1)

Setahun sudah sekolah, aku naik ke kelas dua.Adikku nomor dua masuk kelas satu. Adikku ketiga memasuki usia empat tahun. Aku sudah punya adik bayi laki-laki lagi umur beberapa bulanyang masih menyusu ASI. Namanya Riko.Kami sudah berempat adik-kakak.Jumlah yang butuh makan, butuh hidup dalam keluargaku bertambah tetapi rezeki apakku belum bertambah.Sebenarnya adikku yang ke empat diharapkan perempuan karena orang tuaku belum punya anak perempuan. Anak perempuan dalam keluarga Minang sangat penting adanya, karena akan meneruskan keturunan menurut adat.

Amakku sudah harus membantu apakku lagi untuk mencari nafkah meskipun masa usia adik bayiku baru beberapa bulan. Apak kadang-kadang dapat panggilan bekerja bangunan rumah orang, kadang-kadang mendapat upah membuat kusen pesanan rumah.Penghasilan tidak tentu. Hitungannya sesekali, itu pun kalau ada dapat.Kadang-kadang upahnya sudah diterima duluan sehingga hasilnya sudah habis untuk kebutuhan makan.Seperti amakku menerima upah kesawah.Amakku membantu dengan menerima upah ke sawah orang lainseperti menanam padi, atau basiang. Basiang yaitu pekerjaan membersihkan rumput-rumput sawah ketika padi sudah dipupuk sebelum mulai berbuah.Kadang-kadang upah kesawah itu sudah di terima duluan sebelum mengerjakan sawah orang.Istilahnya berhutang tenaga.

Aku anak sulung sudah mempunyai tanggung jawab mengasuh adikku jika amak tidak di rumah. Membuatkan air manis ke botol susunya kalau adik menangis, menidurinya di ayunan. Susu tambahan sudah tentu tidak mungkin terbeli, hanya air putih gula pengantinya atau kompeng untuk membohongi agar adikku diam lalu tidur. Kalau adikku tidur aku bisa bermain. Juga mencebok’i nya kalau habis buang air besar. Kalau sore memandikannya sebelum amakku pulang ke rumah.Air untuk mandi dan masak juga harus pekerjaanku bersama adikku, si Al yang nomor dua. Di rumah amakku sudah membelikan ember kecil dan kaleng cat bekas ukuran 5 liter dari tempat apakku kerja bangunan yang digunakan untuk mengambil air ke pancoran di bawah tebing. Aku dan adikku bolak-balik mendaki tebing yangd ibuat tangga-tangga dari batu-batu. Kalau amakku bekerja ke sawah orang, pulangnya hampir magrib. Kalau sawah yang di kerjakan itu dekat dengan rumah, amakku cepat pulang. Bahkan saat istirahat siang amakku pulang dulu menyusui adikku, setelah adik tidur amakberangkat ke sawah lagi.

Keadaan nasib adik-adikku sama dengan nasibku ketika bayi. Ketika aku masih bayi amakku sudah pergi-pergi meninggalkan aku untuk membantu apak mencari nafkah. Aku dititipkan ke gaekku. Sebagai ganti ASI ketika amakku tidak dirumah, selain air gula kadang-kadang aku diberi air nasi oleh mak gaekku. Air nasi yaitu air beras yang dilebihin porsinya ketika menanak nasi, setelah mendidih sebelum nasi matang air itu di ceduk, diambil. Itulah air nasi. Jadi wajarlah aku orangnya tidak memiliki otak yang cerdas dan pintar apalagi memiliki pertumbuhan fisik yang bagus. Hidupku kurang gizi, badan kurus dan kecil. Prinsip orang tuaku, yang penting bisa hidup dengan perut kenyang.

Yang agak meringankan pekerjaan mengasuh adik kalau amakku pergi berjualan ke pasar di kotaPadang Panjang. Pasarnya ramai dari pagi sampai tengah hari.Sore waktu ashar amakku sudah pulang, pekerjaan memandikan adik bukan menjadi tugasku.
Kalau tidak ada panggilan pekerjaan ke sawah, amakku dibantu apak pada hari Kamis keliling mencari kelapa tua atau nangka muda ke kebun-kebun orang. Kelapa-kelapa atau nangka, atau apa saja yang bisa dibawa untuk di jual. Semuanya diambil dulu, tanpa harus bayar ke pemilik kebun. Setelah dikumpulkan, dihitung nilainya dan bayarnya besok hari Jumat setelah laku dijual. Kalau tidak laku resiko amakku, tapi tidak ada yang tidak laku. Karena, kalau tidak laku akandijual ke touke-touke penampungan dengan harga murah. Yang penting jadi duit agar amak tidak berhutang kepemilik kebun. Modal amakhanyalah kepercayaan, kalau harus punya uang dulu sudah tentu tidak ada modal bagi amak. Begitulah pola hidup orang desa, orang kampung yang mempunyai tenggang rasa yang tinggi dan saling tolong-menolong.Apak memikul, mengumpulkan dagangan amak di rumah, lalu dimasukan ke karung-karung plastik bekas pupuk padi atau diikat-ikat per-dua biji kelapa menjadi segandeng.
Jumat pagi-pagi setelah subuh, aku harus membantu amak menenteng kelapa ke pinggir jalan raya utama, atau memikul nangka muda semampuku. Apak memikul kelapa yang sudah dikarungin. Kelas dua aku masuk siang, jadi bisa membantu amak dulu.

Amak pergi dagang apak pergi kerja kuli bangunan.Sangat berbeda sekali kalimat kenyataan hidupku ini jika dibandingkan dengan kalimat keluarga Budi di dalam buku pelajaran sekolahku. Buku yang di cetak penerbit Balai Pustaka itu, dituliskan kalimatnya berbunyi “Bapak pergi ke kantor ibu pergi ke pasar”. Sedangkan aku, “Apak pergi kuli bangunan ibu pergi dagang”.
Aku memnabadingkan itu, krena dalam khyalanku di dalam buku itu Budi bagaikan tokoh hidup dan nyata. Sehingga dalam hati, pikirku “Enak sekali hidup si Budi ya?, Bapaknya kerja kantor, pastilah dia anak orang kaya, tidak miskin seperti aku,”

Kalau amakku pergi berjualan ke Padang Panjang, biasanya aku dan adik-adikku menunggu di pinggir jalan raya, sambil menghitung mobil yang lalu lalang hilir mudik.Tentu pekerjaan menjemput air ke pancoran sudah selesai aku lakukan terlebih dahulu. Kalau tidak aku lakukan, aku akan dapat hukuman dari amak.Kalau ada mobil datsun berhenti, hatiku senang, amakku sudah pulang.
Sebuah mobil datsun berhenti, aku kecewa ternyata bukan amakku yang turun.Setiap mobil berhenti hatiku berharap-harap senang.Kadang-kadang aku tebak-tebakkan dengan adikku, amak atau bukan ya, yang turun ketika mobil berhenti.

 Bersambung.......


Tuesday, May 8, 2012

MINDER (3-habis)

Tapi aku lupa dengan keminderanku, ketika pagi jam kelas dimulai dan jam kelas akan bubar. Karena aku menjadi orang nomor satu yang mempersiapkan kelas, tugas sebagai ketua kelas. Kemudian yang lain melupakan keminderanku adalah ketika belajar dengan bu Insah, aku cepat bisa membaca dan menulis.

Ibu Insah mengajar di empat hari berikutnya. Pelajaran yang di ajarkan bu Insah membaca dan menulis sambil mengenal huruf-huruf. Bu Insah tidak pernah marah-marah seperti ibu guru kelas tiga yang mengajar matematika itu. Jadi aku sendiri senang belajar membaca dan menulis dari pada matematika. Namun pelajaran matematika harus tetap bisa, kalau tidak bisa, akan berbahaya berhadapan dengan bu guru kelas tiga itu. Aku pernah kena marah dan kena tempeleng tetapi belum pernah pipiku kena coret pena.

Awal belajar membaca dengan ibu Insah yang diajarkan membaca tanpa ada tulisannya. Yaitu keluarga budi, bapak, ibu, kakak dan adik budi. Sebuah gambar keluarga dipajang di papan tulis. Kemudian ada potongan masing-masing gambar keluarga budi, antara anggota keluarga, lalu di tempel tulisan nama-nama keluarga budi tercetak dikertas putih dibelekangnya ada busa yang bisa menempel di kain. Aku senang belajar itu, lihat gambarnya baca dengan menunjul tulisannya. Padahal aku tidak tahu membaca tulisannya, lama-lama aku jadi tahu dengan cara mengajar bu Insah. 

Ketika belajar menulis, aku senang melakukannya karena tulisan ibu Insah bersih rapi enak dilihat. Tulisan tali tegak bersambung, bagai ukiran indah tergores dengan kapur putih di papan tulis. Dari awal ibu Insah tidak pernah mengenalkan menulis dengan tulisan tanpa tali. Kalau menulis tidak boleh menulis dengan huruf cetak seperti dibuku. Harus dengan tulisan tali bersambung. Di buku tipis isi 18 itu, sebelum menulis di garisi dengan pengaris sebelah kirinya dulu karena buku tipis itu tidak ada garis pinggirnya. Aku senang menulis meniru model tulisan ibu Anisah yang bertali tegak bersambung. Setiap menulis, ibu Insah jarang member nilai tulisanku di bawah tujuh. 

Sistem atau kurikulum untuk SD masa itu caturwulan, perempat bulan. Satu tahun ada tiga caturwulan. Jadi setiap satu caturwulan murid-murid menerima Rapor. Setahun tiga kali menerima rapor. Awalnya aku tidak tahu apa itu rapor.

Pagi-pagi datang sekolah seperti biasa, lama lonceng sekolah tidak di pukul itu guru tanda kelas dimulai. Murid-murid semuanya ramai bermain diluar. Aku senang-senang saja tidak belajar. Begitu masuk kelas ibu guru membagikan buku bewarna putih satu pesatu dengan memanggil nama-nama pemilik buku itu. O, ternyata itu rapor setelah aku tahu. Tapi apa betul sebenarnya arti rapor itu aku tidak paham. Dibagikan begitu saja, tidak ada pengumuan siap-siapa nilai tinggi atau juara kelas.

Uni-uni dan uda-uda disekeliling rumahku kalau sudah menerima rapor, pertanyaanya adalah “berapa merahmu?, berapa merahmu?”.

Aku heran menapa kalau menerima rapor yang ditanya berapa merah rapor?.
“Dy, berapa merahmu?” uni En tetanggaku bertanya.

Belum aku jawab dia menjelaskan lagi kepada ku, “Si anu merahnya dua, si anu merahnya tiga, si anu merahnya satu, ada yang empat”. Ni En menyebutkan informasi tentang orang-orang yang dia tahu dapat warna merah di rapornya kepadaku

Aku bingung, lalu menjawab,  “raporku kok tidak ada merahnya ya? Mengapa ibu guruku tidak mengasih tanda merah di raporku?”

 “Dia senyum, kalau merah berarti nilainya jelek” jawabnya.
“Nilai apaan? Aku tidak mengerti, tadi katanya merah rapor, apa hubungannya merah rapor dengan nilai?” dalam hati aku tambah tidak mengerti, melongo saja mendengarkan penjelasannya.

Raporku aku perlihatkan ke amak dan apakku ketika sudah malam, karena sampai sore dari pagi dia pergi ke sawah orang. Malamnya ku bertanya ke apakku.

“Pak, rapor ini apaan? Kalau sudah terima rapor, itu tanda libur sekolah dua minggu ya? Tapi kok uni En tadi siang bertanya merah raporku berapa? Yang mana sih warna merah rapor pak?” tanyaku ke apak ketika apakku memperhatikan tulusan angka-angka di raporku.

“Nilai kamu bagus, tidak ada merahnya” jawaab apakku. Apakku menjelaskan padaku apa itu rapor, dan apa-apa itu nilai yang tertulis di dalamnya. Dan akhirnya waktu itu awalnya aku mengerti tentang rapor sekolah. Sehingga aku ingin giat belajar jangan sampai aku dapat merah di rapor.

Caturwulan pertama sudah aku lalui, sekolah libur dua minggu. Kegiatan hari-hariku bermain dengan adikku nomor dua dan sambil mengasuh adikku yang kecil berusia tiga tahun. Seperti biasa kalau aku sekolah, dua adikku diasuh mak gaek atau uyangku. Ketika aku pulang sekolah kami bermain di rumah bertiga dan adikku menjadi tanggung jawabku. Orangtuaku sehari hari sibuk ke sawah orang, untuk mencari makan buat kami. Kadang-kadang jualan ke pasar Padang Panjang membawa kelapa atau nangka muda. Dan jualan tergantung musim tanaman, kalau musin petai, jual petai, kalau musim jengkol jual jengkol, kalau musim durian jual durian. Kalau musim durian bahkan aku ditinggal di rumah mengasuh dari pagi sampai malam hari.(*)


 Bersambung ke Lain Judul,..........

Klik Ini ke Ceritaku berikunya : MULAI BERJUALAN (1) 

Klik ini ke Ceritaku Sebelumnya : Minder (2) 



Monday, May 7, 2012

MINDER (2)

Di kelas satu guruku sebenarnya dua orang. Dua hari pertama guruku yaitu ibu guru kelas yang biasanya mengajar di kelas tiga. Hari senin dan hari selasa, ibu itu mengajarkan pelajaran matematika. Hampir semua murid tidak senang belajar sama ibu itu. Ibu itu termasuk sudah tua, badannya besar dan gemuk. Ibu itu sangat menakutkan cara mengajarnya, yang jelas siapa yang ribut atau berbicara selama dia menerangkan akan kena tempeleng kepalanya atau di pukul pakai penggaris kayu. Jadi tidak ada yang berani rIbut kalau ada ibu itu. Kemudian kalau tidak mengerti, akan dimarahinya dengan suaranya yang keras, kadang-kadang pipi atau kepala akan kena pukul meski pelan. Tapi sakit rasanya karena ketakutan. Jadi setiap murid berusaha sekuat-kuatnya biar mengerti apa yang diajarkannya. Hukuman lain kalau tidak bisa matematik waktu mengerjakan soal-soal yang di kasih ibu itu, pipi kiri dan kanan akan kena gores tinta pena ibu itu.

“Bodoh ang, hengak ang atau andie ang” sambil mencoret dengan penanya kedua pipi muridnya.
Pernah aku di bentak-bentak, lalu sedikit ditempeleng pelan oleh ibu itu sambil berkata “bodohnya kamu”. 
Ketika itu waktu pelajaran menghitung tambah-tambahan dengan menggunakan alat peraga, kelereng dan kertas kecil yang bertuliskan angka ukuran dua centimeter kali dua centimeter. Alat peaga itu awal mulanya aku tidak bisa untuk cepat mengerti apa yang diajarkan ibu itu. Alat peraga itu dijual lansung oleh ibu itu, yaitu sekantong kelereng dan kertas-kertas bertulisan angka-angka, tanda-tanda tambah, kurang dan sama dengan ditulis tangan pakai spidol. Karena awal-awalnya aku dibolehkan meminjam alat peraga itu ke teman sebelahku, karena amakku belum punya uang untuk membelinya seharga dua ratus lima puluh rupiah. 

Pikirianku kalau sudah belajar dengan ibu itu tidak konsentrasi karena hanya bertanya-tanya kapan orang tuaku punya uang untuk beli alat pelajaran matematik yang di jual ibu itu. Setiap aku minta di rumah orang tuaku selalu bilang tidak ada uang atau belum ada uang. Alasan lainnya aku tidak bisa cepat mengerti yang diajarkan ibu itu karena meminjam ke teman sebelahku yang perempuan si kaciak, aku kan malu sama anak perempuan. Berbicara atau menyapa saja aku tidak pernah, aku dipaksa belajar meminjam milik orang lain. Maka jadilah aku bodoh dan di bentak-bentak ibu itu. Aku sedih dan malu, akhirnya aku boleh memiliki alat peraga itu dengan dihutangi oleh ibu itu, lalu di bayar mencicil. Amakku memberi uang untuk mencicilnya. Setiap belajar alat itu jadi beban bagi otakku untuk menangkap pelajaran, karena pikiranku terbagi memikirkan bahwa kau masih hutang sama ibuk itu, amakku belum punya uang untuk melunasi. Alat peraga itu tidak lama terpakai karena aku memilikinya sudah setengah pelajaran berjalan.

Aku menjadi anak yang minder dan pengecut karena pernak di bentak-bentak. Aku sudah minder, menyadari betul sebagai anak orang miskin tidak mempunyai uang untuk kelengkapan sekolah. Padahal aku tahu, tidak hanya aku anak orang yang tidak mampu, anak orang miskin dikelasku, ada beberapa teman-temanku yang lainnya, seperti temanku yang pakai kaki ayam dan yang bawa kantong asoy sebagai tasnya. Tetapi aku merasa lebih tidak mampu lagi dari mereka itu. "perasaanku".


Sunday, May 6, 2012

MINDER (1)

Aku dapat uang jajan sekolah dari apakku lima puluh rupiah. Itu sudah bisa untuk beli lontong sepiring atau bubur, atau gorengan yang harga rata-rata dua puluh lima rupiah satunya. Di warung-warung sekeliling sekolahku menjual lontong dengan cara dipiring-piringin oleh penjualnya satu piring-satu piring yang berisi lontong nasi saja tanpa kuah. Jadi kalau ada pembeli tinggal dituangi kuah gulainya. Etek penjual itu bisa dengan cepat melayani antrian pembelinya. Satu piring itu harganya lima puluh rupiah. Beberapa hari di awal sekolah, berbelanja sebelum masuk kelas sangat menyenangkan. Anak-anak kecil yang baru bisa bertransaksi menggunakan uang, dan menjadi mengerti artinya uang. Pelajaran yang tidak bagus untuk perkembangan jiwa anak-anak. Termasuk aku. Dalam hati, aku bangga karena aku merasa sudah besar, dan bangga karena sudah bisa jajan sendiri. Pertamanya aku gugup dan takut belanja masuk warung sekolah. Teman-temanku yang mempunyai kakak bisa pergi belanja bersama kakaknya, jadi dia tidak ada rasa takut seperti aku. Aku ikut-ikutan dengan teman-teman yang ada kakaknya. Sebelum aku belanja, mengambil makanan, aku lihat dulu temanku. Kalau dia minta lontong, aku juga ikutan. Maksudnya biar membayarnya nanti, sama-sama membayarnya dengan harga yang sama. Untung temanku membeli makanan seukuran uang jajanku, kalau aku mengikuti harga makanan melebihi uang jajanku, bisa malu aku dan tentu aku akan berhutang.

Berikutnya aku tidak dapat uang jajan tiap hari lagi, hanya sesekali saja. Kadang-kadang uang jajanku dikurangi menjadi dua puluh lima rupiah. Beberapa minggu kemudian aku sangat jarang dapat uang jajan ke sekolah. Dan akhirnya tidak perlu ada uang jajan lagi. Apakku mengajarkanku pagi-pagi ke sekolah makan nasi dulu di rumah, meski itu nasi dingin atau kerak nasi, harus makan dulu. Amakku melebihkan masak nasinya waktu sore. Jadi pagi-pagi pasti ada sisa nasi semalam agak sepiring dalam periuk di dapur. 

“Tidak ada jajan-jajan lagi ya, biar otaknya pintar dan kuat” kata apakku. 

Aku anak yang menurut dan tidak bisa banyak menuntut. Padahal mana mungkin menambah otak pintar kalau tiap pagi makan nasi pakai sambal saja dan kadang-kadang pakai garam kasih minyak?. Yang jelas, alasan yang paling tepatnya bahwa apak dan amakku tidak punya uang, dan tidak mampu memberiku uang jajan.

Ibu guru mengajarkan kesederhanaan kepada muridnya, “Yang penting kalian mau sekolah harus tekun dan rajin, buku pelajaran harus dirawat, dijaga kerapian dan kebersihan buku tulis itu. Untuk merawatnya agar tidak hancur dan sobek kalian harus pakai tas, tas tidak mesti tas dari kain, kulit atau yang bagus, kantong asoy pun jadi.” Kata bu guruku.

 Kantong Asoy yaitu kantong plastik yang biasa digunakan untuk bungkus-bungkus belanjaan dari pasar. Pada hal kalaupun sudah pakai tas yang bagus sekalipun buku tulis yang aku miliki akan hancur cepat dengan sendirinya begitu digunakan. Begitu juga buku-buku yang dimiliki kebanyakan teman-temanku. Pakai buku tulis tipis isi 18 lembar, kalau dituliskan maka lembaran belakang, baliknya akan tembus dan membekas kasar. Apa lagi kalau salah menulis, lalu menghapus tulisanya, maka buku itu akan bolong. Buku itu sudah cukup mahal bagiku yang harganya sekitar dua puluh lima rupiah. Kalau buku yang bagus harganya lebih mahal lagi, mereknya sinar dunia isi 50 lembar, kertasnya tebal tidak tembus kebelakang bila di tuliskan. Yang dimiliki oleh beberapa orang saja dalam kelasku. 

“Kemudian, buku harus ada bungkusnya, apalagi kulit bukunya bergambar artis tidak boleh telanjang, buku yang berwarna warni harus ditutup”, bu guru member tahu. Ibu guru sangat marah mempunyai buku yang isi luarnya gambar artis dan tidak dibungkus dengan kertas pembungkus. Padahal buku semacam itu sudah mahal harganya dari buku isi 18 lembar. 

Baju seragam sekolah, aku dapat memakainya setelah seminggu sekolah. Peraturan sekolah pun tidak mewajibkan secepatnya setiap murid memakai seragam sekolah. Begitu juga dengan sepatu, bahkan ada temanku ke sekolah tidak pakai sepatu. 

Dari bu guru aku tahu istilahnya, waktu bu guru bertanya,”mengapa kamu ke sekolah pakai kaki ayam?”
Aku melihat kaki temanku yang ditanya oleh bu guru, aku pikir dia bawa kaki ayam kesekolah. Begitu aku melihat kekakinya, ternyata dia tidak pakai sepatu atau sandal. Aku bersyukur masih pakai sepatu, walau bekas dan riwayat akhir sepatu yang aku pakai, jempolku sudah keluar dari ujung sepatu, telapaknya sudah lepas yang sudah beberapa kali dijahit ulang dan tidak bisa dijahit lagi barulah sepatuku diganti. Metode memakai sepatu ala aku itu sangat tahan beberapa tahun.

“Belum ada sepatu bu” begitu jawab temanku itu. Alasannya juga pasti samalah dengan aku. Karena orang tuanya tidak mampu. Ada juga beberapa temanku yang kehidupan orang tuanya tergolong keluarga tidak mampu dan kekurangan sepertiku.

Teman-teman sekolahku ada yang rumahnya jauh dari sekolah, meski mereka dari desa yang sama. Karena desaku terdiri beberapa dusun, dusun yang agak jauh dari sekolah adalah dusun Padang Mantung dan Pasar Juha. Mereka yang dari dusun tersebut sudah tentu cukup jauh berjalan ke sekolah di bandingkan aku, salah satu temanku yang jauh itulah belum punya sepatu. Sejauh itu berjalan ke sekolah dengan kaki ayam. Ada juga beberapa orang dari desa seberang seperti bakoku yang duduk disebelahku yang pernah aku ceritakan.

Setelah beberapa hari sekolah, aku baru tahu nama bu guru kelasku. Aku tahu panggilan ibu itu, ibu Insyah. Setelah menerima rapor di kemudian hari, baru aku tahu nama lengkap ibu guruku itu, ibu Anisah. Aku tahu nama ibu Insah dari amakku karena kata amakku, ibu itu juga ibu gurunya. Ketika amakku jadi murid ibu Insyah, ibu itu masih gadis. Jadi aku murid generasi keduanya.

Friday, May 4, 2012

MEMANCING UMPAN CACING


Kami berhenti berlari dengan nafas satu-satu karena ketakutan. Dada yang berdegub kencang, kerongkongan serasa kering tidak berair ditelan kelelahan. Di balik rumpun betung di lereng bukit kami merunduk dan bersembunyi. Suara nafas kami naik turun bertanding untuk reda. Keringat mengucur deras di badan setelah berlari ketakutan dari pematang ke pematang, meloncat selokan aliran sawah, berhamburan dan terus berlari mendaki sampai di lereng bukit.

“Anak kurang ajar, tidak punya benak kalian,” Pak Aciak sambil mengacung-acungkan goloknya yang kami sebut “ladiang” berlari mengejar kami.

“Lari kemana kalian heh, hah”. Pak Aciak yang sudah tua itu terus mengejar kami dengan marah besar.
“Saya tak takut sama bapak kalian, kemari kalian, saya cincang kalian” langkah larinya memelan setelah beberapa petak sawah yang dia lalui, karena sudah kecapean
.
Pak Aciak yang sudah tua itu tidak bisa mengimbangi kecepatan lari kami yang masih power full. Meski langkah kami pendek dan kecil tetapi mempunyai daya kecepatan tinggi karena mati ketakutan. Pak Aciak memang sudah tua umurnya tapi untuk urusan kerja ke sawah membawa padi agak sekarung mendaki bukit masih kuat. Sudah umumnya orang desa, kampungku seperti itu. Tua, sehat dan kuat karena dari masa muda sudah terlatih hidup bekerja keras ke sawah dan keladang yang selalu menghirup udara kaki pegunungan yang segar setiap hari. Jauh dari penyaikit seperti orang kota, sakit jantung, stoke dan sebagainya. Tapi kalau soal berlari tentu dia tidak bisa sekuat kami. Maka selamatlah kami.

Siang yang tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap karena lagit berawan. Udara tidak terlalu panas untuk bermain mengisi liburan bagi kami, anak kampung. Pinggir Batang Anai, sawah, kali, rawa, bukit atau ke kebun, menggembala adalah tempat kami bersenang-senang bermain sambil membantu orang tua. Kulit kaki di tulang kering yang selalu kering, telapak kaki tanpa alas dan bergerumul dengan lumpur sudah biasa bagi kami.

Cuaca yang bagus dengan perencanaan kami yang bagus untuk memancing ikan kapareh, sepat, ruting, belut dan bermacam ikan sepanjang kali di tepi bukit baruah tidak sebagus nasib kami saat itu. Belum apa-apa, pak Aciak pemilik sawah itu mengejar kami sejadi-jadinya. Hah,… untunglah pak Aciak tua itu orangnya emosian, masih jauh dari pinggir bukit di bawah pohon pinang diujung sawahnya dia sudah teriak marah-marah, jadi kami dengan mudah cepat lari langkah seribu ketakutan. Berlari ke arah Batang Anai memutar balik lagi mendaki bukit hingga menyuruk di rumpun betung. Umpan untuk memancing biasanya kami menggunankan cacing. Cacing kami cari di pematang-pematang sawah. Sawah yang padinya masih muda biasanya banyak cacing, karena sawah itu masih perlu diari, sehingga cacing akan besarang ketepi sawah yang lembab. Cuma biasanya pemilik sawah marah, kalau pematangnya dikelupas itu artinya merusak pematang dan bisa hancur kalau hujan tiba. Bisa-bisa sawahnya  tidak berair karena tidak berpematang untuk menahan air. Akan butuh tenaga dan waktu untuk mempebaikinya lagi. Biasanya yang merusak pematang sawah mencari cacing itu babi hutan yang bisa kami sebut “Kundiak”. Jadi Pak Aciak sangat marah kerjaan kami seperti “Kundiak” merusak pematang sawahnya.

“Apa ku bilang tadi, jangan mencari cacing disitu” kataku dengan suara setengah pelan.
“Buktinya kalian juga penakut” protesku, membuktikan pendapatku tadi itu sudah benar.
“Hah,..uh,..hah,..huh,..hah…huh” tidak ada yang menjawab, semuanya terengah-engah menenangkan nafasnya masing-masing.
“Ah, jangan takut, jangan takut, apanya jangan takut, sekarang semuanya benar-benar penakut” ku mengulang kata-kata si Pinto sambil mencibir ke arahnya.

Sebelum Pinto mengajakku ke pematang sawah pak Aciak mencari cacing, aku sudah keberatan. Tapi mereka, Nasir, dan Pinto bersikeras bilang “ngak apa-apa, ngak apa-apa, jangan takut, jangan takut”.

“Kalian ngak percaya sih filing ku”, aku belum puas mengeluarkan penyesalanku.

“Ah, diam lah kau,” Rusli mengomentari ocehanku, sambil menyeka keringat dengan lengannya keningnya. Abbas mengintip-intip mengamati ke arah bawah lereng disawah-sawah, memastikan Pak Aciak benar-benar sudah kehilangan jejak kami.

“Untung pak Aciak sudah tua” sahut Pinto merasa lega.
“Iya, kalau tidak sudah dibantai kita”  balas Amir
“Untung kata kau” balasku yang masih kesal.

“Terus apa? Masak rugi?” kata Pinto, lalu Amir dan Pinto tertawa kecil, rasa takutnya sudah hilang sambil bercanda.

“ Syukur” jawab Abbas dengan datar. Abbas orang tertua umurnya diantara kami, dia orangnya berpikiran dewasa. Bila bersama denganya, dia selalu menuntun dan menasehati kami mana yang baik dan yang tidak , tetapi mencari cacing di pematang sawah sehingga pematang sawah orang rusak dan merugikan orang lain, kedewasaannya hilang. Begitu belihat pematang yang rumput subur, tanahnya gembur. Hasratnya lansung mengajak memancing ikan. Orangnya maniak sekali kalau memancing , sangat hobi. 

 “Syukurnya lagi Pak Aciak tidak mengenali kita, karena jauh-jauh kita sudah lari duluan”. Abbas berkata membuat kita tenang dan bisa mengurangi rasa ketakutan.

“Kawan, sudah aman, pak Aciak sudah tidak kelihatan lagi” kata Nasir mengamati.

“Dia sudah kehilangan kita” lanjut Nasir lagi yang mengintip dari balik pohon keladi liar.

Pak Aciak pergi pulang begitu sudah keliling melihat padi dan air sawahnya. Mungkin dia merasa beruntung karena sudah lebih dahulu mengetahui ada anak-anak mau merusak pematang sawahnya. Pak Aciak sudah merasa aman, ketika balik pulang. Cukup lama kami bersembunyi.

Awan yang memendungkan hari sudah mulai berubah menjadi awan-awan tipis berserakan bergelantungan di langit biru. Putih mengkilap kena cipratan sinar matahari. Udara agak mulai hangat begitu keluar dari pensembunyian dirumpun betung yang rindang, redup, tertutup dan sejuk.

“Bagaimana sekarang?” Pinto memulai membuka pikiran kami.
“Ya, pergi memancinglah” kata Abbas semangat.

Kami melangkah satu satu menuruni jalan lereng bukit bertangga yang di ceruk-ceruk. Seolah-olah sudah tidak pernah terjadi apa-apa dan sudah lupa dengan ketakutan tadi. Masing-masing memegang dahan kayu kopi di ikat tali berujung kail peralatan tempurung kelapa yang di pegang oleh Pinto, Amir dan aku.

“Terus umpannya bagaimana?”, kataku
“Ya cacing lah”, jawab Pinto.
“Kamu gimana sih cacing nya mana?”, tanya Nasir meneruskan pertanyaan di hatiku.
“Cacing dalam tanah, masak dalam celanamu?”, jawab Amir bercanda tanpa menacari jawaban.
“Hahahaha…..” semua tertawa terus turun dari lereng bukit. Ketakutan, jantung berdebar sudah terlupakan.
“Ya, mari kita teruskan cari cacing” Abbas mengkomandoi.
“Tapi dimana kawan” Nasir bertanya, kalau-kalau nanti di kejar Pak Aciak lagi.
“Ya, didalam tanah lah” Pinto serius tapi tidak juga punya ide.
“Alah kamu kok repot amat sih”
“Yang banyak tu di pematang sawah, ya kita teruskan cari di pematang sawah” Abbas rajanya memancing dengan semangat takut kalau gagal memancing hari ini.
“Nanti kalau di kejar Pak Aciak lagi gimana” Tanya Amir menciutkan.
“Ya ,jangan di sawah pak Aciaklah” Jelas Abbas.
“Kita cari agak kehilir sawah pak Aciak atau ke pematag sawah agak ke pinggir Batang Anai.” Abbas memberi ide.
“Ok,…  tapi kita berpisah pisah ya, jagan sekalian semua satu tempat”. Nasir menyetujui
“Dan jangan terus mencarinya sepanjang pematang” jelas Abbas mengajari.
“Ya, kita jarakin beberapa puluh langkah, jadi sepanjang pematang sawah orang tidak rusak” terus mengeluarkan idenya agar aman.
“Ok, boss” sahut ku.
“Ok,Pinto kamu sama Amir. Nasir, Rusli bersama Aku” kata Abbas mengatur.

Kurang satu jam kami sudah mendapatkan cacing yang kami letakkan dalam tempurung kelapa berisi tanah. Cacing itu kami bagi-bagi lalu bertebaran sepajang kali di kaki bukit pinggir sawah rawa. Dengan damai kami sudah batasi areal sepanjang kali itu tempat tempat kami memancing tanpa ada yang memerintah. Kalau satu orang sudah duluan melempar pancingnya, yang lainnya berjalan mencari ke tempat yang  selanjutnya. Kalau bertemu kalinya berlubuk agak besar kami ceburkan tali pancing kami berdua atau bertiga sekali gus. Siapa bernasib baik mata pancingnya di sambar ikan, dia beruntung. Kami tanpa iri dan selalu kompak. Jika ikan itu menyambar, dan tersangkut di mata pancing, kami senang dan bahagia sambil teriak dan tertawa melihat ikan malang itu ceguk-cegukan, tergantung di kali. 

Jika cacing untuk umpan dicari bersama-sama lalu dibagi-bagi. Tapi, kalau ikan, siapa yang dapat itu yang punya tidak bisa dibagi-bagi. Itu sudah ketentuan tanpa ada kesepakatan dan saling mengerti tanpa ada iri dan dengki. Tawa dan senang ketika menarik ikan yang kena mata kail hanya beberapa kali saja, awal-awal memulai memancing. Setelah dua dan tiga ikan dapat, sudah menjadi biasa dan tidak tertawa dan teriak lagi. Diam dan berkonsentrasi, seolah-olah ikan-ikan itu akan lari jika kami ribut-ribut. Padahal ikan-ikan itu akan lari kalau bayang-bayang badan kami membayang ke dalam air, atau ketika menyusuri pinggir kali, kodok-kodok meloncat ke air ketika kaget kami datang, namun dalam hati berteriak dan puas ketika ikan-ikan itu menyangkut di mata kail kami. Kadang – kadang yang mengesalkan umpan habis ikan tidak tersangkut.

Tidak terasa sepanjang kali sudah kami susuri. Ikan yang kami dapat masing-masing tidak seberapa. Yang paling sedikit dapat ikan aku. Selalu saja setiap memancing aku selalu dapat yang paling sedikit. Yang paling banyak Pinto.

Kata Abbas “karena kita kebanyakan sekali pergi memancingnya jadi ikan pada takut”.
Aku setuju saja analisa Abbas itu dengan polos, tanpa mengerti alasannya.
Di hulu aliran kali tepi tebing itu kami berbelok ke Batang Anai. Matahari sudah condong ke barat, isyarat waktu sudah sore. Sebelum gelap datang kami bermain lagi dengan aliran air Batang Anai sambil membersihkan badan dan kaki berselimut lumpur. Aku mengambil daun pakis yang ku sebut “daun paku”, yaitu “paku ular” karena pakis itu tidak enak untuk dimakan dan di sayur kata orang pakis itu makanan ular makanya kusebut paku ukar yang aku jadikan untuk menggosok badang pengganti sabun. 

Kami pulang dengan menenteng ikan-ikan kali rawa hasil pancingan kami. Ikan itu kami tusuk dari insangnya dengan batang rumput liar, ukurannya kecil-kecil seukuran tangan kami yang kecil. Tenteganku yang paling pendek.(*)


Pengalaman anak kampung di kaki Gunung dicoret-coret jadi cerita, Mei 2012






Thursday, May 3, 2012

SALAHKAH AKU

Badanku gemetar, dadaku berdebar, jantungku belum berhenti memompa kencang darah ke kepala. Syukur saja, tidak membuat aku pusing. Kuayun langkah kaki yang serasa berat digerakan setengah berlari pulang ke rumah. Aku belum puas rasanya melampiaskan amarah ini, tapi aku malu kalau aku terus berada disana. Kalau aku masih disana, mulutku ini tidak akan bisa ditahan mengeluarkan kata-kata umpatan yang tidak pantas didengar. Alhamdulillah otakku masih bisa mengontrol emosi ini. Makanya aku cepat dan cepat ingin sampai di rumah. Jalanan kerumah ku sebelum menempuh gang melewati stasiun kareta api, melangkahi beberapa rel besi, menginjak kerikil-kerikil yang ditebar diatas bantalan jalan kareta api seakan tidak menjadi penghalang besar buatku melintasinya dengan kondisi badanku yang tengah hamil berjalan cepat. Aku ingin cepat melaporkan ke suamiku. Aku ingin mencurahakan perasaan emosi ini padanya. Dengan harapan, kepada orang yang selalu melindungiku, membela aku. Ya suami, orang yang memberi perhatian, melindungi, tempat mencurahkan segala masalah. Aku sudah berapa tahun hidup di rantau dengan dua anak perempuanku dalam gelombang kehidupan ibu kota Jakarta.

Dari sejak kecil aku sudah yatim mamaku sudah menghadap Yang Kuasa saat melahirkan aku. Pengganti mamaku, yang aku panggil Ibu adalah kakak ibuku. Dialah yang mengasuh dan membesarkan aku. Dulu dari kecil sampai aku berkeluarga pun biasanya aku sering mengadu, bercerita, berkeluh kesah dan membagi ke ibuku kalau aku menghadapi maasalah. Ketika aku sudah berkeluarga dan jauh darinya aku kadang-kadang menelpon untuk menceritakan maasalah yang ku hadapi meski dia tidak membantu, cukup mendengar lalu memberi nasehat, lalu aku menjadi lega. Sudah beberapa tahun ini ibuku juga sudah tiada. Aku bersyukur mempunyai suami yang bisa menjadikan pengganti orang-orang yang menyayangiku dari kecil. 

Meskipun aku hidup pas-pasan, tinggal di rumah kontrakan bedengan, diantara deretan, tumpukan rumah-rumah kecil dan gang-gang sempit di tengah ibu kota, aku masih bisa menjalani kehidupan ini. Walau berat dan tertatih-tatih. Kebutuhan anak sekolah, adalah prioritas utama yang paling aku dahulukan. Aku benar-benar harus bisa memilah-milah pendapatan suamiku yang sangat terbatas menjadi cukup ada. Suamiku berdagang di pasar, penghasilan tidak menentu tergantung nasib. Sudah bertahun-tahun aku menjalani kehidupan berumah tangga dengan usaha suami seperti ini, namun keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Aku dan suami menjalani dengan sabar, suamiku selalu menuntun mendalami makna sabar dari waktu ke waktu sampai sekarang. Syukur, aku juga sudah terbiasa dalam keterbatasan dan kerasnya hidup bersama ibuku dengan saudara-saudara sepupuku dari kecil.

“Yang penting hidup berusaha, berusaha sekuat tenaga dengan cara yang benar dan halal. Selebihnya kita serahkan ke Yang Maha Kuasa lalu menunggu dengan sabar” begitu suamiku pernah menasehatiku.
Tapi, pagi itu apa yang telah terjadi di depan guru-guru di sekolah anakku tadi, aku tidak bisa sabar. Emosiku memuncak, dadaku panas, naik ke kepala. Mungkin sabar dalam maasalah barusan ini beda dengan sabar yang diajarkan suamiku. Tapi benar, aku akhirnya melabrak orang itu.

Aku sudah berusaha mengikuti aturan sekolah dengan baik. Karena tidak ingin mengecewakan anakku. Sudah aku usahakan membayar uang untuk jalan-jalan liburan sekolah sebagaimana program sekolah. Dengan memanfaatkan uang belanja dapur yang aku kurang-kurangi selama sebulan ini agar bersisa untuk rencana jalan-jalan anakku di akhir tahun ajaran ini. Jujur sebenarnya aku tidak mampu untuk membayar dan mengikuti acara sekolah anakku itu. Dan juga aku tidak mampu berjalan jauh ke pantai di Suka Bumi dengan kondisi berbadan dua yang sudah empat bulan ini, alasan lainnya anak aku suka mabok jika berjalan jauh. Lagian, tidak mungkinlah aku tega melepas anakku yang baru berusia lima tahun pergi tamasya tanpa orang tua sejauh itu. Semua anak-anak ditemani orang tuanya. Karena sekolah sudah meanggarkan biayanya dengan menyewa bus pariwisata berdasarkan jumlah siswa, sehingga ikut atau tidak ikut harus bayar. Jadilah aku terpaksa untuk membayar dengan cara menghemat uang belanja dapur, dan ku paksakan juga nantinya untuk ikut menemani anakku. Padahal lepas tahun ajaran ini anakku ini masuk sekolah SD, butuh biaya lagi, dan kakaknya lulus SD akan butuh biaya banyak ke SMP. Darimana uang sebanyak itu akan di carikan suami nanti. Lagi pula anakku ini TK, kalau tidak ikut berlibur mengikuti sekolahnya itu, tentu tidak akan menjadi maasalah untuk masuk ke SD. Namun ku abaikan semua itu, bagaimana pun juga aku usahakan demi anakku.
Ibu-ibu guru panitia itu sudah mengatur tempat duduk di bis nanti. Begitu aku tahu pagi itu tempat dudukku jauh dibelakang terpisah dengan anakku.
Pagi itu, aku agak terlambat pergi sekolah mengantar anakku. Beberapa ibu-ibu, orang tua murid yang biasa menungguin anaknya di sekolah sudah duluan ramai berkumpul sambil ngerumpi.  Selembar kertas ditempel didinding dibelakang tempat orang tua menunggu anak-anaknya bertulisakan nomor bis dan nama-nama bangku penumpangnya anak murid dan orang tuanya. 

Setelah aku mencari lalu membaca betul-betul nama anakku Zelni dan mama Zelni di kertas skema tempat duduk bis itu, aku kaget. Aku datangilah ibu guru kelas anakku. Aku sampaikan maksudku. Ibu guru yang salah satu panitia itu tidak jauh dari tempat orang tua murid menunggu anak-anaknya.
“Bu, maaf bu, tempat duduk saya dan anak saya, tolong diatur supaya duduk berdekatan dengan anak saya.”, aku dengan baik-baik memohon ke guru kelas anakku. 

“Maaf bu, kami sudah menyusunnya, memangnya kenapa mama Zelni?” bu guru mencoba menolak permintaankku.
“Begini bu, saya sedang hamil, saya tidak bisa duduk dibelakang, dan lagian anak saya Zelni naik kendaraan suka mabok” jelasku.
“Wualaaaah,… waktu acara sekolah di mall bulan lalu naik angkot ngak mabok”, celoteh sahutan  seorang ibu, orang tua murid teman anakku juga.

Seer,…. darah ku naik ke kepala mendengar sahutan dibelakangku. 

Aku belum sempat menjawab komentar ibu itu yang lagi menunggu jawaban dari bu guru, ibu yang nyeloteh itu melanjukan isi mulutnya “kalau mau enak, sewa mobil pribadi aja buk…..” menoleh kearah ku.

“Heh, lu, jaga mulut tu ya” dengan menyebut nama binatang terusanya. 

“Jangan kurang ajar lu?, apa urusan lu sama urusan gue?”. Aku berteriak kencang menantang dia. Semua yang tadinya duduk-duduk berdiri melihat kearahku

“Kalau gue bisa punya mobil, gue kagak bakalan naik bus kayak lo”. Sambil ku mendekat kearahnya
.
“Dasar,…” lagi aku dengan menyebut nama binatang. Sambil menunjuk-nunjuk ke dia. Seorang ibu yang tidak teperhatikan olehku menghalangi aku yang mendekat ke dia.

“Yang punya anak itu, gue, bukan lu. Mana lu tau anak gue mabuk tidak nya” aku terus bicara emosi setengah teriak.

“Sudah mama Zelni, sudahlah, mungkin mama Arif bercanda” ibu yang duduk disampingnya menenangkanku.

“Bilang tu ke dia jangan ikut campur urusan orang deh” sambil aku terus menunjuk-nunjuk ke dia.
Si Ibu itu diam seribu basa, kepalanya menunduk, entah malu atau ketakutan.

“Iya mama Zelni, iya, iya, tenanglah”. Sahut ibu-ibu yang lainya, memegang pundakku dari belakang.

“Emang lu siapa? Apa maasalah lu sama gue?”

“Malu buk banyak orang dan menganggu anak-anak kita yang lagi belajar di dalam” Ibu yang memegang pundakku terus menasehati aku.

“Lu ngak senang ya melihat gue, apa salah gue sama lu?” aku terus berbicara menghardik ke ibu yang biasa dipanggil mama Arif, orangnya bebadan besar dan kuat. Sebenrnya kalau dia melawan aku, lalu beradu fisik mungkin aku bukanlah lawan tandingnya, aku akan lansung KO. Tapi kebesaran badannya menjadi ciut karena ocehanku.

“Gue ngak pernah repotin lu, ngak pernah berhutang ama lu”. Sambil langkah surut sedikit menjahui dia, karena di tarik oleh seorang ibu lainnya.

“Jangan kurang ajar ya lu ama gue, gue kagak takut ama lu”. Aku terus melampiaskan emosiku tanpa mempedulikan ibu-ibu yang menarikku.

“Kak, tolong bilangin ke ibu guru itu, aku tidak bisa duduk terpisah dari anakku” kepada seorang orang tua teman anakku, dengan menggunakan bahasa daerahku. Kakak itu berasal satu daerah denganku.

“Aku ni, lagi hamil, anakku suka mabok, untuk apa orang tua ikut kalau tidak bisa dekat dan menjaga anakku nanti?” jelasku masih pakai bahasa daerah juga, biar ibu guru disitu tidak mengerti, aku minta bantuan untuk menyampaikan kemauanku. 

Aku berlalu, meniggalkan kerumunan ibu-ibu yang merumpi sambil menunggu anak-anak mereka. Aku tidak melihat ibu guru yang tadi ku sapa entah berdiri dimana. Tadinya ikut menenangkan aku juga. Pandanganku sedikit gelap. Banyak kepala berdiri menghalangi aku, kwatir aku menampar atau memukul wajah si ibu yang membuat aku berang sekali itu. Ku melangkah cepat keluar pekarangan sekolah TK anakku. Penjual jajanan gerobak yang berderet di luar pekarangan sekolah itu matanya tertuju melihat kearah ku. Aku tidak peduli pandangan mereka. Entah apa kata-kata dalam hati mereka yang tidak tahu penyebabnya aku berteriak-teriak menghardik seorang ibu itu. 

 “Aku benar, aku tidak bersalah, aku pantas berbicara seperti itu, aku pantang diganggu” dalam hati aku terus berjalan mendekati rumah ku yang melewati gang-gang sebatas jalan motor roda dua. Apa yang terjadi tadi itu benar-benar di luar kendali aku, semuanya bergerak, mengalir dan keluar kata-kata ini begitu saja. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Ku rasa-rasakan dengan heran terhadap diriku sendiri mengapa aku bisa berani seperti itu?. Rasanya belum pernah aku berbuat, berprilaku sehingga menjadi tontonan orang banyak seperti tadi, meski ada yang memancing emosi ku seperti yang terjadi tadi. Apakah bawaan aku sedang hamil sekarang? Apakah anak yang aku kandung ini laki-laki? Dan menjadi anak yang super pemberani? Ah, ada-ada saja pikiran ku ini. Tapi,… atau apakah karena himpitan kesusahan hidup yang aku jalani ini? Ya, semuanya ku serahkan pada Yang Kuasa. Tentu Dia yang lebih tahu, kalau tadi aku sudah salah ampuni aku ya Allah.

Ku dorong pintu rumah yang tidak terkunci. Cepat ku bangunkan suamiku yang masih tidur. Sirkulasi waktunya agak terlambat dari normal aktifitas orang pada umumnya. Usaha suamiku dimulai kalau sudah siang sampai tengah malam, hampir dini hari baru di tutup. Jadi selesai subuh tiap hari dia meneruskan tidurnya. Sampai waktu Zuhur tiba.

“Bang, bangun bang, Abang, saya barusan berantam di sekolahan Zelni” aku membangunkan suamiku.
Begitu medengar kata berantam suamiku kaget dan bangun.
“Berantam bagaimana?”

“Iya, palak saya, saya sudah emosi begitu tahu tempat dudukku dengan Zelni terpisah saat jalan-jalan nanti, sudah susah-susah berusaha membayar, fisik saya begini,… mikirin biaya anak sekolah, sebentar lagi tahun ajaran baru, ada orang di sekolah Zelni tadi menambah pusing dan membuat saya emosi bang”, panjang lebar aku mengoceh, suami ku bingung tidak menemukan jawaban yang dia tanyakan.

“Emosi bagaimana?” sambil mengusap-usap matanya duduk di pinggir tempat tidur, dengan bertambah bingung.

“Coba ceritakan, apa yang terjadi sama kau?” suamiku bertanya dengan tenang.

“Iya, sekarang saya tanya ya, sama abang”, aku malah dengan nada tinggi seperti marah ke dia. Begitulah caraku mengadu, melampiaskan emosiku yang tersisa.

“ Anggap saya ini bukan siap-siapa abang, anggap saya orang lain disini bertanya”
“Salah kah saya……?” kemudian ku ceritakan dari awal kejadian yang membuat aku emosi, marah-marah dan berantam.

Suami aku tidak memberikan jawaban bahwa aku benar atau tidaknya.
“Aku, mengapa kamu berubah sekarang? Jadi pembrani, mudah tersinggung begitu? Kamu itu kan orangnya penakut”, suamiku malah bertanya heran. 

“Jaganlah terlalu emosi dan cepat naik darah begitu. Ingat, kamu lagi hamil. Takutnya kesehatan anak kita baik secara fisik atau phiskologis jadi terganggu,” suamiku sok phiskiater saja, dia malah menasehati aku. Padahal aku menanti jawabannya, apakah aku salah?

“Bang, saya tidak mau ke sekolah Zelni menjemputnya. Abanglah yang jemput nanti”, dengan cemberutku minta dia mengantikan tugas aku.

“Iya”, suamiku melanjukan tidurnya lagi, lalu berkata “nanti bangunkan aku untuk menjemput Zelni”.
Aku mengiyakan kata suamiku, dalam hati masih membela diri, merenungkan apa yang telah terjadi, bukan salahku.(*)

mencoba mengubah sebuah khayalanku menjadi corat-coretan cerpen, Mei 2012