Badanku gemetar, dadaku berdebar,
jantungku belum berhenti memompa kencang darah ke kepala. Syukur saja, tidak
membuat aku pusing. Kuayun langkah kaki yang serasa berat digerakan setengah
berlari pulang ke rumah. Aku belum puas rasanya melampiaskan amarah ini, tapi
aku malu kalau aku terus berada disana. Kalau aku masih disana, mulutku ini
tidak akan bisa ditahan mengeluarkan kata-kata umpatan yang tidak pantas didengar.
Alhamdulillah otakku masih bisa mengontrol emosi ini. Makanya aku cepat dan cepat
ingin sampai di rumah. Jalanan kerumah ku sebelum menempuh gang melewati stasiun
kareta api, melangkahi beberapa rel besi, menginjak kerikil-kerikil yang ditebar
diatas bantalan jalan kareta api seakan tidak menjadi penghalang besar buatku melintasinya
dengan kondisi badanku yang tengah hamil berjalan cepat. Aku ingin cepat
melaporkan ke suamiku. Aku ingin mencurahakan perasaan emosi ini padanya.
Dengan harapan, kepada orang yang selalu melindungiku, membela aku. Ya suami, orang
yang memberi perhatian, melindungi, tempat mencurahkan segala masalah. Aku
sudah berapa tahun hidup di rantau dengan dua anak perempuanku dalam gelombang
kehidupan ibu kota Jakarta.
Dari sejak kecil aku sudah yatim
mamaku sudah menghadap Yang Kuasa saat melahirkan aku. Pengganti mamaku, yang
aku panggil Ibu adalah kakak ibuku. Dialah yang mengasuh dan membesarkan aku.
Dulu dari kecil sampai aku berkeluarga pun biasanya aku sering mengadu,
bercerita, berkeluh kesah dan membagi ke ibuku kalau aku menghadapi maasalah.
Ketika aku sudah berkeluarga dan jauh darinya aku kadang-kadang menelpon untuk
menceritakan maasalah yang ku hadapi meski dia tidak membantu, cukup mendengar
lalu memberi nasehat, lalu aku menjadi lega. Sudah beberapa tahun ini ibuku
juga sudah tiada. Aku bersyukur mempunyai suami yang bisa menjadikan pengganti
orang-orang yang menyayangiku dari kecil.
Meskipun aku hidup pas-pasan, tinggal
di rumah kontrakan bedengan, diantara deretan, tumpukan rumah-rumah kecil dan
gang-gang sempit di tengah ibu kota, aku masih bisa menjalani kehidupan ini. Walau
berat dan tertatih-tatih. Kebutuhan anak sekolah, adalah prioritas utama yang
paling aku dahulukan. Aku benar-benar harus bisa memilah-milah pendapatan
suamiku yang sangat terbatas menjadi cukup ada. Suamiku berdagang di pasar,
penghasilan tidak menentu tergantung nasib. Sudah bertahun-tahun aku menjalani
kehidupan berumah tangga dengan usaha suami seperti ini, namun keadaan belum
berubah menjadi lebih baik. Aku dan suami menjalani dengan sabar, suamiku
selalu menuntun mendalami makna sabar dari waktu ke waktu sampai sekarang. Syukur,
aku juga sudah terbiasa dalam keterbatasan dan kerasnya hidup bersama ibuku
dengan saudara-saudara sepupuku dari kecil.
“Yang penting hidup berusaha,
berusaha sekuat tenaga dengan cara yang benar dan halal. Selebihnya kita
serahkan ke Yang Maha Kuasa lalu menunggu dengan sabar” begitu suamiku pernah
menasehatiku.
Tapi, pagi itu apa yang telah
terjadi di depan guru-guru di sekolah anakku tadi, aku tidak bisa sabar.
Emosiku memuncak, dadaku panas, naik ke kepala. Mungkin sabar dalam maasalah
barusan ini beda dengan sabar yang diajarkan suamiku. Tapi benar, aku akhirnya
melabrak orang itu.
Aku sudah berusaha mengikuti aturan
sekolah dengan baik. Karena tidak ingin mengecewakan anakku. Sudah aku usahakan
membayar uang untuk jalan-jalan liburan sekolah sebagaimana program sekolah.
Dengan memanfaatkan uang belanja dapur yang aku kurang-kurangi selama sebulan
ini agar bersisa untuk rencana jalan-jalan anakku di akhir tahun ajaran ini.
Jujur sebenarnya aku tidak mampu untuk membayar dan mengikuti acara sekolah
anakku itu. Dan juga aku tidak mampu berjalan jauh ke pantai di Suka Bumi
dengan kondisi berbadan dua yang sudah empat bulan ini, alasan lainnya anak aku
suka mabok jika berjalan jauh. Lagian, tidak mungkinlah aku tega melepas anakku
yang baru berusia lima tahun pergi tamasya tanpa orang tua sejauh itu. Semua
anak-anak ditemani orang tuanya. Karena sekolah sudah meanggarkan biayanya
dengan menyewa bus pariwisata berdasarkan jumlah siswa, sehingga ikut atau
tidak ikut harus bayar. Jadilah aku terpaksa untuk membayar dengan cara
menghemat uang belanja dapur, dan ku paksakan juga nantinya untuk ikut menemani
anakku. Padahal lepas tahun ajaran ini anakku ini masuk sekolah SD, butuh biaya
lagi, dan kakaknya lulus SD akan butuh biaya banyak ke SMP. Darimana uang
sebanyak itu akan di carikan suami nanti. Lagi pula anakku ini TK, kalau tidak
ikut berlibur mengikuti sekolahnya itu, tentu tidak akan menjadi maasalah untuk
masuk ke SD. Namun ku abaikan semua itu, bagaimana pun juga aku usahakan demi
anakku.
Ibu-ibu guru panitia itu sudah
mengatur tempat duduk di bis nanti. Begitu aku tahu pagi itu tempat dudukku
jauh dibelakang terpisah dengan anakku.
Pagi itu, aku agak terlambat
pergi sekolah mengantar anakku. Beberapa ibu-ibu, orang tua murid yang biasa
menungguin anaknya di sekolah sudah duluan ramai berkumpul sambil ngerumpi. Selembar kertas ditempel didinding dibelakang
tempat orang tua menunggu anak-anaknya bertulisakan nomor bis dan nama-nama
bangku penumpangnya anak murid dan orang tuanya.
Setelah aku mencari lalu membaca
betul-betul nama anakku Zelni dan mama Zelni di kertas skema tempat duduk bis
itu, aku kaget. Aku datangilah ibu guru kelas anakku. Aku sampaikan maksudku. Ibu
guru yang salah satu panitia itu tidak jauh dari tempat orang tua murid
menunggu anak-anaknya.
“Bu, maaf bu, tempat duduk saya
dan anak saya, tolong diatur supaya duduk berdekatan dengan anak saya.”, aku
dengan baik-baik memohon ke guru kelas anakku.
“Maaf bu, kami sudah menyusunnya,
memangnya kenapa mama Zelni?” bu guru mencoba menolak permintaankku.
“Begini bu, saya sedang hamil,
saya tidak bisa duduk dibelakang, dan lagian anak saya Zelni naik kendaraan
suka mabok” jelasku.
“Wualaaaah,… waktu acara sekolah
di mall bulan lalu naik angkot ngak mabok”, celoteh sahutan seorang ibu, orang tua murid teman anakku
juga.
Seer,…. darah ku naik ke kepala mendengar
sahutan dibelakangku.
Aku belum sempat menjawab
komentar ibu itu yang lagi menunggu jawaban dari bu guru, ibu yang nyeloteh itu
melanjukan isi mulutnya “kalau mau enak, sewa mobil pribadi aja buk…..” menoleh
kearah ku.
“Heh, lu, jaga mulut tu ya”
dengan menyebut nama binatang terusanya.
“Jangan kurang ajar lu?, apa
urusan lu sama urusan gue?”. Aku berteriak kencang menantang dia. Semua yang
tadinya duduk-duduk berdiri melihat kearahku
“Kalau gue bisa punya mobil, gue
kagak bakalan naik bus kayak lo”. Sambil ku mendekat kearahnya
.
“Dasar,…” lagi aku dengan
menyebut nama binatang. Sambil menunjuk-nunjuk ke dia. Seorang ibu yang tidak teperhatikan
olehku menghalangi aku yang mendekat ke dia.
“Yang punya anak itu, gue, bukan
lu. Mana lu tau anak gue mabuk tidak nya” aku terus bicara emosi setengah
teriak.
“Sudah mama Zelni, sudahlah,
mungkin mama Arif bercanda” ibu yang duduk disampingnya menenangkanku.
“Bilang tu ke dia jangan ikut
campur urusan orang deh” sambil aku terus menunjuk-nunjuk ke dia.
Si Ibu itu diam seribu basa,
kepalanya menunduk, entah malu atau ketakutan.
“Iya mama Zelni, iya, iya,
tenanglah”. Sahut ibu-ibu yang lainya, memegang pundakku dari belakang.
“Emang lu siapa? Apa maasalah lu
sama gue?”
“Malu buk banyak orang dan menganggu
anak-anak kita yang lagi belajar di dalam” Ibu yang memegang pundakku terus
menasehati aku.
“Lu ngak senang ya melihat gue,
apa salah gue sama lu?” aku terus berbicara menghardik ke ibu yang biasa
dipanggil mama Arif, orangnya bebadan besar dan kuat. Sebenrnya kalau dia
melawan aku, lalu beradu fisik mungkin aku bukanlah lawan tandingnya, aku akan
lansung KO. Tapi kebesaran badannya menjadi ciut karena ocehanku.
“Gue ngak pernah repotin lu, ngak
pernah berhutang ama lu”. Sambil langkah surut sedikit menjahui dia, karena di
tarik oleh seorang ibu lainnya.
“Jangan kurang ajar ya lu ama
gue, gue kagak takut ama lu”. Aku terus melampiaskan emosiku tanpa mempedulikan
ibu-ibu yang menarikku.
“Kak, tolong bilangin ke ibu guru
itu, aku tidak bisa duduk terpisah dari anakku” kepada seorang orang tua teman
anakku, dengan menggunakan bahasa daerahku. Kakak itu berasal satu daerah
denganku.
“Aku ni, lagi hamil, anakku suka
mabok, untuk apa orang tua ikut kalau tidak bisa dekat dan menjaga anakku
nanti?” jelasku masih pakai bahasa daerah juga, biar ibu guru disitu tidak
mengerti, aku minta bantuan untuk menyampaikan kemauanku.
Aku berlalu, meniggalkan
kerumunan ibu-ibu yang merumpi sambil menunggu anak-anak mereka. Aku tidak
melihat ibu guru yang tadi ku sapa entah berdiri dimana. Tadinya ikut
menenangkan aku juga. Pandanganku sedikit gelap. Banyak kepala berdiri
menghalangi aku, kwatir aku menampar atau memukul wajah si ibu yang membuat aku
berang sekali itu. Ku melangkah cepat keluar pekarangan sekolah TK anakku.
Penjual jajanan gerobak yang berderet di luar pekarangan sekolah itu matanya
tertuju melihat kearah ku. Aku tidak peduli pandangan mereka. Entah apa
kata-kata dalam hati mereka yang tidak tahu penyebabnya aku berteriak-teriak
menghardik seorang ibu itu.
“Aku benar, aku tidak bersalah, aku pantas
berbicara seperti itu, aku pantang diganggu” dalam hati aku terus berjalan
mendekati rumah ku yang melewati gang-gang sebatas jalan motor roda dua. Apa
yang terjadi tadi itu benar-benar di luar kendali aku, semuanya bergerak, mengalir
dan keluar kata-kata ini begitu saja. Beberapa langkah lagi aku sampai di
rumah. Ku rasa-rasakan dengan heran terhadap diriku sendiri mengapa aku bisa
berani seperti itu?. Rasanya belum pernah aku berbuat, berprilaku sehingga
menjadi tontonan orang banyak seperti tadi, meski ada yang memancing emosi ku
seperti yang terjadi tadi. Apakah bawaan aku sedang hamil sekarang? Apakah anak
yang aku kandung ini laki-laki? Dan menjadi anak yang super pemberani? Ah,
ada-ada saja pikiran ku ini. Tapi,… atau apakah karena himpitan kesusahan hidup
yang aku jalani ini? Ya, semuanya ku serahkan pada Yang Kuasa. Tentu Dia yang
lebih tahu, kalau tadi aku sudah salah ampuni aku ya Allah.
Ku dorong pintu rumah yang tidak
terkunci. Cepat ku bangunkan suamiku yang masih tidur. Sirkulasi waktunya agak
terlambat dari normal aktifitas orang pada umumnya. Usaha suamiku dimulai kalau
sudah siang sampai tengah malam, hampir dini hari baru di tutup. Jadi selesai
subuh tiap hari dia meneruskan tidurnya. Sampai waktu Zuhur tiba.
“Bang, bangun bang, Abang, saya
barusan berantam di sekolahan Zelni” aku membangunkan suamiku.
Begitu medengar kata berantam
suamiku kaget dan bangun.
“Berantam bagaimana?”
“Iya, palak saya, saya sudah
emosi begitu tahu tempat dudukku dengan Zelni terpisah saat jalan-jalan nanti,
sudah susah-susah berusaha membayar, fisik saya begini,… mikirin biaya anak
sekolah, sebentar lagi tahun ajaran baru, ada orang di sekolah Zelni tadi
menambah pusing dan membuat saya emosi bang”, panjang lebar aku mengoceh, suami
ku bingung tidak menemukan jawaban yang dia tanyakan.
“Emosi bagaimana?” sambil
mengusap-usap matanya duduk di pinggir tempat tidur, dengan bertambah bingung.
“Coba ceritakan, apa yang terjadi
sama kau?” suamiku bertanya dengan tenang.
“Iya, sekarang saya tanya ya,
sama abang”, aku malah dengan nada tinggi seperti marah ke dia. Begitulah
caraku mengadu, melampiaskan emosiku yang tersisa.
“ Anggap saya ini bukan
siap-siapa abang, anggap saya orang lain disini bertanya”
“Salah kah saya……?” kemudian ku ceritakan
dari awal kejadian yang membuat aku emosi, marah-marah dan berantam.
Suami aku tidak memberikan
jawaban bahwa aku benar atau tidaknya.
“Aku, mengapa kamu berubah
sekarang? Jadi pembrani, mudah tersinggung begitu? Kamu itu kan orangnya
penakut”, suamiku malah bertanya heran.
“Jaganlah terlalu emosi dan cepat
naik darah begitu. Ingat, kamu lagi hamil. Takutnya kesehatan anak kita baik
secara fisik atau phiskologis jadi terganggu,” suamiku sok phiskiater saja, dia
malah menasehati aku. Padahal aku menanti jawabannya, apakah aku salah?
“Bang, saya tidak mau ke sekolah
Zelni menjemputnya. Abanglah yang jemput nanti”, dengan cemberutku minta dia
mengantikan tugas aku.
“Iya”, suamiku melanjukan
tidurnya lagi, lalu berkata “nanti bangunkan aku untuk menjemput Zelni”.
Aku mengiyakan kata suamiku,
dalam hati masih membela diri, merenungkan apa yang telah terjadi, bukan
salahku.(*)
mencoba mengubah sebuah khayalanku menjadi corat-coretan cerpen, Mei 2012